Sudah hari keberapa karantina? Rasanya sudah sekian juta
kali menatap langit-langit di atas kepala sebelum menutup mata, berharap
esoknya luar biasa normal seperti sebelum karantina. Padahal, biasanya
mengumpat “normal is boring”. Nyatanya, yang membosankan pun dikangenin juga kalau
nggak berjalan seperti biasanya. Yang biasanya pergi kuliah harus mandi bersiap
diri rapi-rapi, sekarang cuci muka dan sadar sepenuhnya pun alhamdulillah, dibanding
skip kelas karena ketiduran akibat lupa sekarang hari apa, ada jadwal kuliah
apa, mulai jam berapa, dan melalui aplikasi apa. Yang biasanya di kampus mau
makan siang mikirin duduk di mana, ramai apa nggak, keburu untuk solat dan
lanjut kelas jam satu, makan apa hari itu, sekarang nggak perlu. Iya jelas,
sekarang Ramadhan. Tapi bukan itu juga, ini kalau hari-hari biasa. Sekarang udah
di rumah, makan tinggal loncat ke dapur, solat tinggal gerak dikit bisa. Mobilisasi
lebih mudah dan cepat. Nggak perlu mikirin rute balik ke kelas lebih cepat
lewat mana, mau naik lift atau tangga.
Banyak banget hal yang bisa dievaluasi semasa karantina
ini terutama untukku pribadi. Aku lebih tau diriku—atau paling tidak lebih tau
apa yang perlu dan tidak perlu dilakukan ketika semuanya kembali normal. Misal,
aku sadar kuliah tatap muka itu penting (iya sejak dulu kala juga tau penting).
Lebih dari itu, aku akan lebih berterimakasih pada diriku sendiri ketika tidak
tertidur di dalam kelas saat dosen memberi kuliah. Yang biasanya “ah gapapa deh
ketiduran, abisnya ngantuk. Ntar juga dipelajarin lagi sendiri bisa”, omong
kosong—banget! Sekarang tanpa tatap muka, rasanya nggak ada yang masuk ke
kepala. Kalo keskip penjelasan, nggak bisa langsung tanya teman sebelah. Niatnya
habis kuliah tanya, tapi udah lupa, isi kepala menguap ke mana-mana. Udah berusaha
ngikutin kuliah pun begitu, apalagi kalau hadir kuliah, matikan kamera, isi
presensi, kemudian tidur lagi. Syukur kebangun kuliah masih berlangsung, jadi bisa
ikutin sisa-sisa walopun dikit. Tapi beda cerita kalau kebangun pas pa dosen
pamit undur diri karena kuliah udah beres. Senang, tapi nggak sadar di dalam
otak udah berdebu di mana-mana, ada laba-laba lagi bikin sarang. Terus tiba-tiba
minggu depannya udah UAS aja. Tapi ternyata nggaada yang namanya tiba-tiba
heyyy, dari dulu ke mana aja. Makanya kuliah yang bener, belajar yang bener.
Ngomongin kuliah, waktu di Jatinangor aku sempat
mikir, “Ngebosenin amat, siapa si yang bakalan kangen Jatinangor?”. Well, guess
who? ME!!!. Ternyata nangor nggak se-sepi itu. Suara obrolan orang-orang di
asrama, obrolan orang-orang di kantin waktu makan siang, becandaan teman-teman
satu jurusan, umpatan-umpatan ketika mengejar deadline yang di depan mata,
sekarang cuman ada di dalam kepala. Senyebelinnya nyamuk-nyamuk yang gede-gede
di jalan setapak AKPN pun ternyata bisa bikin kangen. Kangen jalan-jalan dari ujung
utara AKPN sampai ke situ 1. Asik banget, di sana bisa liat burung terbang di
atas permukaan air, denger kodok bunyi, liat gedung-gedung ITB dari lain sisi. Aku
emang ngga suka banget kalo di kelas terus semua orang bersuara (I guess everyone
knows since I always make that ‘everyone shut the fck up’ face in a noisy class),
berisik banget, luar biasa. Tapi nyatanya, sekarang latar suara di sini nggak
ada apa-apa, sepi. Sesederhana suara ketawa, aku kangen, sumpah.
Sekarang setelah beberapa waktu di rumah, aku nemu
beberapa hal baru yang sebelumnya rasanya nggak pernah terasa. Ibu, beliau suka
menanyakan hal-hal kecil. Sekarang jam berapa? Itu foto di WhatsApp foto di
mana? Udah makan? Hari ini kuliah jam berapa? Nanti kuliah sampai jam berapa? Kuliahnya
udah beres? Kuliahnya masih lama? Padahal, beres kuliah atau belum pun nggak ada
sesuatu yang harus dilakukan. Kadang merasa terganggu dan ingin diam saja,
tidak usah menjawab. Tapi masa sampai jahat cuman gara-gara pertanyaan sesepele
itu. Terlepas dari itu semua, sepertinya aku sudah terbiasa tinggal di asrama,
mengerjakan tugas tanpa interaksi dengan teman satu kamar. Iya, sama-sama diam.
Aku lebih nyaman. Makanya, ketika di rumah, rasanya menyebalkan saat
mengerjakan tugas dan dihujani pertanyaan-pertanyaan yang rasanya tidak
penting. Makin bikin pusing.
Selain itu, ternyata bapak suka bertanya hal-hal yang
sudah jelas jawabannya apa. Tapi jujur, kami memang jarang berbicara. Mungkin itu
salah satu cara agar komunikasi kami tetap berjalan dengan baik. Pada dasarnya,
aku memang lebih suka diam. Aku tidak suka bertanya, tidak suka menjawab.
Tapi namanya juga manusia. Kadang aku butuh teman berbicara, mengobrol ala kadarnya. “Emang di rumah nggak ada orang?” Ya ada. Tapi tidak mencukupi kebutuhan mengobrol yang ada. Waktu masih kuliah tatap muka, aku masih punya teman berbincang apa pun keresahannya. Entah malas mengerjakan tugas, ingin ikut ini itu, ingin menonton ini itu, bingung makan apa, ingin beli ini, ingin baca itu. Jadi kangen nginep di tempat Nisa dan keterusan ngobrol, padahal niatnya belajar bareng buat ujian. Setelah ujian mengutuk diri, bukannya belajar tapi malah menghibur diri dengan dalih “apresiasi” padahal harusnya belajar dari keburukan hari kemarin.
Lama-kelamaan, rasanya aku kesepian. Iya aku suka
suasana sepi, tapi nggak kesepian juga. Dari yang rasanya nggak punya teman,
sampai akhirnya sadar kayaknya emang nggak punya teman. Aku tau, aku terlalu
sering ngeluh nggak punya teman, padahal ada yang namanya teman satu jurusan,
teman satu paguyuban, teman dekat, teman ini itu. Tapi, kadang rasanya tetap
aja nggak punya teman. Mungkin ada hal spesifik yang harusnya ditambahkan
setelah kata teman. Teman sepemikiran? Teman berbagi cerita? Suatu saat aku nemu
quotes “Stop texting first and see how many dead plants you’ve been watering”. Rasanya
bener, kan? Kamu bakalan bisa lihat orang-orang yang emang punya tingkat
keinginan yang sama untuk berinteraksi satu sama lain, bukan yang rasanya kamu
teman dekat dengan dia, tapi dia nggak ngerasa gitu. Aku sering kepikiran, rasanya
orang-orang punya circle dan aku nggak tergabung di mana pun. Rasanya tertinggal,
sendirian. Kemudian ada orang yang pernah bilang, “Kamu nggak sendirian, ada
aku, ada teman-teman bw18, ada blablabla”. Kalau memang benar, mungkin aku
harus mencoba. Iya, mencoba menghadirkan mereka ketika sosok teman sedang aku
butuhkan.
Setelah ini, aku tidak akan menghitung sekarang
karantina hari keberapa atau berapa hari aku telah meninggalkan kamar asrama—yang
semoga masih baik-baik saja, tidak ada jamur di mana-mana—. Terlepas dari fakta
bahwa karantina menyebalkan karena membatasi pertemuan dengan teman, aku rasa memang
banyak hal yang perlu direnungkan.
Sehat-sehat terus, kawan. Mari berdoa agar suatu saat
kita dapat kembali berjumpa. Tengok ke belakang apa-apa yang perlu dibenahi
untuk suatu nanti yang lebih baik dari ini.
Lihat, deh. Obsessed banget sama Slytherin. Suka. Hehe. |
19 Mei 2020,
Pengen beli buku Harry Potter, pengen nonton Harry Potter. Sehat selalu semua orang.
ConversionConversion EmoticonEmoticon