Nggak Ada di Belakang, Sekarang Berdampingan

Dan ku relakan hari ini, besok, lusa, atau lain kali



Rasanya baru beberapa hari yang lalu aku masih tau apa yang akan aku lakukan di masa depan. Nyatanya, hampir dua tahun. Tidak mau munafik, aku masih terjerat Jupiter terakhir yang aku lihat melalui teleskop sekolah, cincin Saturnus yang tak sempat aku ambil gambarnya, purnama cerah yang telah tertimbun puluhan purnama lain, rasi Orion yang selalu aku kenal, Scorpio yang biasanya bisa kukenali dan kadang kelupaan, suasana stargazing tiga pagi di belakang rumah, sendirian. Ada yang tertinggal, sempat melihat beberapa meteor, asik. Kangen, padahal masih bisa dilakukan. Mungkin kalau kenangan itu besi, udah karatan di sana-sini.

Tapi, siapa bilang aku nggak senang dan ingin udahan sama keadaan? Aku senang, kok. Aku bangga. Katanya dipersiapkan untuk masa depan. Tapi, bukannya segala yang dipersiapkan pasti untuk masa yang akan datang? Kalau untuk sekarang, ya mana ada yang namanya persiapan. Sudah dilakukan sebelumnya seharusnya. Ngomongin masa depan, satu-satunya hal yang tidak pernah aku suka di kelas adalah ketika dosen meminta menulis ide-ide yang akan dibuat dan mau melakukan apa di masa depan berkaitan dengan permasalahan yang berkaitan dengan yang kupelajari, yang terjadi di Indonesia. Kalian-kalian yang udah punya ide-ide cemerlang luar biasa beserta langkah-langkah kecilnya, boleh banget hujat ketidak-mampuan diri ini, kok. Aku bisa menuliskan satu hal, yang sejujurnya ingin kulakukan suatu saat, tanpa ada kaitannya dengan apa yang kupelajari sekarang. Apa? Pergi ke Mars. Mau diusahakan seperti apa pun, satu-satunya hal yang bisa aku tulis adalah ikut andil dalam kolonisasi di Mars dan sedikit menghubung-hubungkan dengan apa yang kupelajari sekarang. Membuat hutan, misal? Gimana? Ya mana aku tahu. Yang penting, tulis aja. Tapi kemudian dikasi tau, yang ditulis rencana ke depan, bukan cita-cita. Ya sudah, mau bagaimana. Kalau belum ada, tulis aja seadanya.

Aku tidak mau memaksakan diri dengan mencari-cari apa yang harus aku lakukan di masa depan nanti. Sebenarnya untuk motivasi, katanya. Pantas saja hidupku selalu seperti tanpa motivasi. Tapi, apa motivasi harus berupa tujuan di masa yang akan datang berhubungan dengan diriku yang sekarang? Apa tidak bisa sekedar "Wah, pokoknya aku harus pergi ke Jepang" atau "Kayaknya aku harus ikutan lomba deh" atau sekedar "Harus ikut atau jadi ini-itu nih biar CV nya nggak kosong-kosong amat".Yang terakhir fana, ya? Nggak mau munafik, namanya juga manusia. 

Jujur, dengan umur sebanyak ini, apa memang seharusnya sudah menemukan yang namanya jati diri dan sebenarnya apa yang diinginkan diri ini? Rasanya aku masih selalu mencari. Apakah seharusnya aku buat saja, bukan mencari? Melalui apa? Bagaimana caranya? Apa tidak baik untuk selalu menanti hal-hal luar biasa di alam semesta seperti sekedar dapat melihat Milkyway, atau menanti lewatnya komet Halley suatu nanti padahal ada permasalahan pelik dalam diri dan keadaan saat ini? Teringat masa lalu, mengingat masa lalu, bagaimana caranya bisa keluar dari selubung itu? Rasanya horizonku terlalu sempit. Di mana-mana, saat malam hari, yang kucari selalu bintang dan segala rasi. Masih nyeri kalau ingat tulisan di kaca lemari. Tapi nggak sampai nangis, udah bosan dan muak nggak ada berhenti.

Tahun kedua ini aku masih tergila-gila sama yang namanya astronomi. Pokoknya keren, nggak ada yang bisa ngalahin sejauh ini. Rasanya kesedihan waktu pengumuman lolos OSN dan ternyata aku nggak dapat, masih terasa juga. Tapi nggak apa, rasanya terlalu keren kalau aku lolos padahal waktu pembinaan saat yang lain dapat tutor, astronomi sendiri tutornya nggak datang. Akhirnya isi kepalaku mutar-mutar sendiri dan satu rekanku tidur--atau bermain game. Lucu, tapi yaudah deh.

Rindu si untuk belajar magnitudo, belajar fase hidup bintang, spektrum ini-itu. Tapi sekarang harus lebih serius sama hal lain. Analisis vegetasi? Bird watching? LAB? Sampling Error? dan kolega-koleganya yang lain yang bikin otakku bekerja keras minta ampun. Terus, katanya, harus terbiasa membiasakan rasa sakit biar lupa kalo rasanya sakit. Bukan udah terbiasa, tapi kayaknya sekarang nggak ada perasaan apa pun. Terlalu flat, terlalu tidak peduli.

Untuk segala permasalahan pada paragraf keempat, sekiranya ada yang bisa didiskusikan, ayo. Biar aku punya teman cerita. Kalau ada yang mau mengobrol masalah kehidupan, aku akan senang, ayo berteman.

Kemudian, sepertinya aku nggak akan lagi nengok ke belakang. Akan kujadikan berdampingan, setipis apa pun kehadirannya. Dengan baca Kosmos dan follow NASA doang, juga tak apa. Oiya, stargazing juga.



 
Lihat, deh. Suka banget bisa ke Observatorium Bosscha setelah bertahun-tahun pengen ke sana.
Tapi sayang. mendung--dan banyak nyasar.


27 Maret 2020,
Nggak cuman tulisan yang berantakan, aku juga. Semangat, mata. Kuat-kuat kuliah online, ya.


Previous
Next Post »
Thanks for your comment