Hasil karya admin waktu kelas VII
Maafkan Aku, Bapak
“Kukuruyuuuuk,” Ayam jantan di
pekarangan rumahku mulai berkokok. Kulihat cahaya mentari sedikit demi sedikit
menerobos dinding bambu rumah sederhanaku yang mulai rapuh dimakan usia.
“Gitaaa bangun!! Mbok sudah
siang. Bapak saja sudah berangkat kerja,” Suara lemah lembut ibu membangunkanku
dari mimpi indahku semalam.
“iya buu, sebentar lagi,”sahutku
sembari mengucek kedua mataku yang masih terasa berat untuk kubuka dengan kedua
tanganku. Setelah kurasa badanku cukup ringan, kulangkahkan kakiku menuju
sungai yang memiliki arus cukup deras yang berjarak lebih kurang 100 meter dari
rumahku sambil membawa sabun di tangan kananku dan ember serta gayung di tangan
kiriku.
Di perjalanan menuju sungai, tak
sengaja aku mendengar percakapan antara Mbok Inem dan Mbok Ratih.
“Ratih,aku dengar tadi malam desa
sebrang ada yang kemalingan,” Jelas Mbok Inem dengan antusias sambil
membawa barang belanjaan di tangan kanan dan kirinya.
“Itu sih sudah biasa. Apalagi di
desa sebrang Nggak ada orang ronda malam. Patut lah. Gak heran,”
Balas Mbok Ratih singkat.
“Bukan masalah sering atau tidaknya.
Tapi gosipnya, yang maling itu dari desa kita. Katanya yang maling itu Paak ..
“ Belum selesai berbicara, kalimat Mbok Inem terpotong oleh kalimat Mbok
Ratih.
“Hahh?? Pak siapa?? Kalo ngomong itu
yang bener. Diselesaikan langsung dong!! Jangan setengah-setengah. Bikin
saya penasaran saja,”Sambar Mbok Ratih dengan nada semangat bercampur
penasaran.
“Kau ini!! sayakan belum selesai
bicara tadi. Makanya, jangan menyerobot saat orang sedang berbicara,” Mbok Inem
sedikit kesal dengan perilaku Mbok Ratih saat itu.
Setelah mendengar percakapan Mbok
Inem dan Mbok Ratih, aku lebih memilih melanjutkan perjalanan
daripada mendapatkan dosa gara-gara ikut mendengar gosip yang belum tentu benar
adanya.
Sampai di sungai, aku melihat Icha
yang sedang sibuk mencuci baju seragam sekolah miliknya. Rajin. Ya, Icha memang
anak yang rajin.Akupun iri dengannya. Bagaimana tidak?? Di tengah kesibukan
merawat keempat adik laki-lakinya,ia bisa menyempatkan diri untuk
belajar,mencuci,beres-beres rumah dan membantu kedua orang tuanya.
“Icha, rajin nih, yee.”Sapaku
sedikit meledek mendekati Icha.
“Nggak lah Git, biasa aja,”
Jawab Icha seraya menjulurkan lidah dan dengan nada sedikit tinggi, namun hanya
bercanda.
“Eh,nanti bapakmu pentas ya??” tanya Icha padaku. Aku
hanya membalas pertanyaan Icha menggunakan anggukan. Tanpa disertai senyum
sedikitpun.
“Kenapa?? Kamu nggak suka
kalo bapakmu pentas?? Malu??”tanya Icha secara panjang lebar. Lebih lebar dari
hal paling lebar dan lebih panjang dari hal paling panjang yang pernah aku lihat
dan dengar.
“Eh, udahlah. Mending kamu
lanjutin nyuci baju aja deh. Lagian aku juga mau mandi,” Kataku mencoba mengalihkan
pembicaraan. Sebenarnya aku tidak malu dengan pekerjaan Bapak itu. Penari Kuda
Lumping, itulah pekerjaan bapakku.
Selesai mandi, aku pamit pada Icha untuk
pulang terlebih dahulu.
“Cha, balik dulu ya. Sudah ditunggu
ibu nih. Jangan ngelamun ya,nanti seragammu hanyut, besok pake apa??Haha”
pamitku sembari mengejek Icha.
“Iya iyaa. Jangan lupa belajar ya
Git!!” ledek Icha tak mau kalah dariku. Memang, Icha selalu peringkat satu atau
pertama di sekolah. Dan aku selalu menjadi yang terakhir. Sebenarnya bukan
terahir, tapi paling ahir. Tetapi perkataan Icha yang seperti itu aku anggap
hanya sebagai lelucon dan tidak pernah aku masukkan ke hati.
Sampai di rumah, ku ceritakan
semuanya yang ku dengar dari Mbok Inem dan Mbok Ratih kepada Ibu.
“Bu, tadi pagi waktu Gita mau ke
sungai, Gita denger percakapan Mbok
Inem sama Mbok Ratih. Katanya, desa sebrang ada yang kemalingan.
Apa benar??”tanyaku pada Ibu. Setelah terdiam sejenak, kulanjutkan lagi.
“Katanya yang maling orang desa sini
Bu, siapa sih?”Lanjutku. mendengar pertanyaanku tadi, ibu terdiam.
“Ibu gak tau loh,”jawab Ibu
singkat. Kalimat paling singkat yang baru pertama kali aku dengar dari mulut
Ibu.
“Gitaa, main yuk!!” teriak Keke dari
luar rumahku. Keke adalah teman baruku yang baru datang dari Surabaya 2 hari
silam. Keke pindah ke kotaku karena ayahnya ada tugas di sini. Ayah Keke
bekerja sebagai guru di salah satu sekolah di kotaku.
“Tunggu bentar Ke, sini masuk dulu,”jawabku.
“Okee aku tunggu. Gaklah, aku
di luar aja. Kamu jangan kelamaan yah!!”Bawel Keke.
“iya iyaa. Ini bentar lagi kok, sabar!!”jawabku.
“Ayo Gitaaaa, cepaaaat!! Udah capek nih,
nunggu terus,”keluh Keke beberapa menit kemudian.
“Iyaaa. Niih, aku udah keluar dari
rumah. Emang mau ngapain sih??”tanyaku heran.
“Nonton Kuda Lumping yuk, udah
mau mulai tuh,”Ajak Keke.
“Hmm. Tapi, aku ada urusan sebentar,”
Kataku. Sebenarnya itu hanya alasanku saja. Aku malu melihat bapakku menari
Kuda Lumping . Aku malu.
“Udah ayook. Nanti gak kebagian
tempat,”Paksa Keke sembari menarik tanganku menuju ke tempat pentas Kuda
Lumping.
Malu, yang kurasa kini hanya malu.
Ku malu melihat bapak menari Kuda Lumping di depan semua warga desa. Memang
itulah pekerjaan bapakku. Memang pekerjaan itu halal, tetapi tak tau mengapa
aku merasa malu jika melihat bapakku menari Kuda Lumping. Mungkin seharusnya
aku bangga. Tetapi aku tidak bisa sama sekali.
Pada saat bapakku menari Kuda Lumping,
salah satu warga memprofokatori warga lain untuk memukuli bapakku. Entah angin
apa yang menyebabkannya. Yang kudengar, orang itu menuduh bapakku mencuri ayam
milik warga desa sebrang.
Bapakku terdiam, terpaku melihat
puluhan warga berlari melesat dan mengepungnya. Rambutnya yang berwarna coklat
kemerahan karena terkena panas dan cahaya matahari ditarik, dijambak hingga
bapakku mengerang. Kulitnya yang berwarna kuning kecoklatan berubah, berubah
menjadi berwarna ungu kehitaman karena luka lebam. Dipukuli, ditonjok, dijambak.
Ya, bapakku dihakimi warga setempat. Tak terasa air mataku menetes. Aku tak
kuasa melihat bapakku dihakimi oleh warga. Seakan- akan UU tidak berlaku.
Seakan- akan tak ada yang tau HAM, Hak Asasi Manusia di desa ini. Sungguh
kejam. Lebih kejam dari sang raja hutan.
Aku lebih memilih pulang ke rumah
dan memberi tahu kepada ibu tentang kekejaman warga desa pada bapak.
“Buuu, ibu. Bapak bu, bapak. Bapak
diserbu warga bu,”teriakku di depan pintu rumahku yang sudah rapuh dimakan
usia.
“Hah??? Jangan bohongin orang tua
loh Git!! Yang bener aja kamu!!”Ibu tak percaya denganku.
“beneran bu, Gita gak bohong
bu. Kalo gak percaya, itu di tempat pentas bapak, bapak lagi diserbu
warga,”Kataku berharap ibu percaya dan yakin padaku.
Mendengar kata-kataku, Ibu langsung
pergi ke tempat bapak pentas tanpa memikirkan apapun.
Setelah kutunggu dengan gelisah d
depan rumahku beberapa lama, ibu pulang sembari merangkul bapak yang mengerang
melawan rasa sakit yang sangat. Air mata ibu menetes dan keringatnya mengalir
dari dahinya.
“Gitaa, sini bantu ibu bawa bapak ke
dalam,” Pinta ibu padaku. Ibu terisak.
“Iya bu,” Jawabku sambil membantu
ibu merangkul bapak menuju ke dalam rumah.
Keesokan harinya, aku berangkat
sekolah seperti biasanya. Aku masih kelas tujuh di SMP Tunas Bangsa. Sudah dua
hari ini,aku selalu berangkat sekolah bersama Keke.
“Gita, bagaimana keadaan bokap lo??”tanya
Keke.
“ngapain sih, lo nanya
masalah bokap gua??biarin aja kali,orang itukan salah dia sendiri,”jawabku.
“Ya ampun Giit,gitu amat sih.
Wajarkan,kalo aku nanya. Kan kasihan bokap lo dihakimin warga kaya gitu,”Kata
Keke.
“Iya iya. Udahlah ayo cepetan. Ntar
telat gimana,”ketaku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Sampai di sekolah,ku dengar
teman-teman ku membicarakan maling yang baru saja dihakimi warga. Kulihat
mereka berbisik-bisik sambil menatap sinis kepadaku. Karena penasaran,aku
dekati salah satu temanku.
“Hey, ngomongin apa’an sih??”tanyaku
penasaran. Tanpa menjawab,temanku itu menjauh dariku. Tak lama,ada salah satu
temanku yang mengejekku.
“Hey, katanya maling ayam kemarin
dipukuli loh. Untungnya aja kagak mati,”ejek salah satu temanku.aku haya
bisa terdiam.
Ah, kenapa bapakku harus menjadi
penari Kuda Lumping?? Kenapa pekerjaan bapakku bukan guru?? Atau dokter?? Lalu,
kenapa bapak harus maling?? Sungguh memalukan.
Sepulang sekolah,aku langsung pulang
ke rumah. Tanpa menunggu Keke piket siang. Aku tidak tahan dengan semua ini.
Ingin ku bertanya pada Tuhan. Kenapa nasibku seburuk ini??
Sampainya di rumah, langsung ku caci
maki bapakku tanpa rasa bersalah di benakku.
“Bapaakk!! Kenapa bapak harus jadi
Penari Kuda Lumping?? Terus,kenapa bapak maling di desa sebrang?? Gita malu
pak!! Gita diejek sama temen Gitaa!!”bentakku tepat di depan wajah bapakku. Aku
tidak peduli jikalau aku dianggap durhaka pada bapakku sendiri. Saat ini,aku
hanya memikirkan diriku sendiri. Setelah ku merasa puas memaki bapakku yang
terbaring lemas di ranjang yang tak beralas yang mulai rapuh dimakan usia,aku
pergi berniat mengembalikan moodku yang sedang rusak.
“Mending kabur aja dah, dari rumah.
Daripada ngeliat orang sekarat kaya gitu,” Omelku selama perjalanan menuju
sungai deras yang biasa aku datangi jika aku sedang merasa bosan.
Sampai di sungai,kulihat dikejauhan
Icha berlari mendekatiku dengan wajah cemas bercampur panik.
“Gitaaa. Cepet pulang Git!! Bapakmu,
bapakmu Git!!” ungkap Icha sambil sedikit demi sedkit menghela nafas.
“Kenapa dengan bapak??”tanyaku pada
Icha dengan raut wajah biasa-biasa saja tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“Bapakmu meninggal. Baru saja
tadi!!”Jelas Icha.
“Aah, biarin aja. Emangnya aku
pikirin??”balasku.
“Kau memang tak tau malu Git, sadar
dong, sadar!!”bentak Icha tepat di depan wajahku, lalu pergi berlalu
meninggalkanku sendiri di sungai.
Lebih baik tidak mempunyai bapak
daripada punya bapak seperti dia. Itulah yang kupikirkan saat ini. Bapak yang
hanya bisa mempermalukanku di depan teman-temanku.
40 hari sudah bapakku meninggal.
Ditandai dengan Tahlilan bersama di rumahku. Sesudah Tahlilan,ibu memberikan
sesuati untukku.
“Apa ini bu??”dengan polosnya aku
bertanya pada ibu.
“buka saja lah,”perintah ibu.
Setelah kubuka bungkusan balok berwarna hitam, ternyata itu Handphone.
Handphone yang selama ini aku idam-idamkan.
Ibupun menjelaskan semuanya. Bahwa
ternyata bapak mencuri hanya untuk memberikanku sebuah Handphone. Hanya untukku
seorang.
Air mataku berlinang. Tak bisa
manahan sesal yang begitu mendalam. Bapak yang selama ini aku maki, ternyata ia
rela, harga dirinya hilang. Demi aku, anaknya yang sangat durhaka kepadanya.
Setelah mendengar penjelasan ibu, aku
berlari menuju makam bapakku. Aku hanya bisa menangis di atas makam sembari
memegangi batu nisan bertuliskan nama bapakku. Kini ku hanya bisa menangis
menyesali semuanya. Apa boleh buat, segalanya telah diatur oleh-Nya.
Tuhan, andai bisa kuputar waktu, takkan
kumaki bapakku, takkan ku biarkan ia meninggalkanku dalam penyesalan seperti
sekarang ini. Dan hanya satu kalimat yang ada di benakku,”Maafkan aku,bapak.”
ConversionConversion EmoticonEmoticon