Hukum Cacing Sebagai Obat
Khasiat
cacing tanah untuk mengobati demam, tifus,dan gangguan pasca stroke bukan lagi
cuma sebatas bisik-bisik. Meskipun masih memerlukan penelitian lebih seksama,
prospek cacing tanah sebagai bahan obat alami sudah sangat menjanjikan. Obat
dari cacing ini biasa kita temukan pada obat China. Namun tentu saja kita
selaku seorang muslim bukan hanya mengikuti obat mujarab dan ampuh, perlu kita
mendalami lebih jauh obat tersebut meskipun dikatakan manjur. Marilah kita
melihat apakah cacing halal sebagai obat?
Standar
Menjijikkan
Allah Ta’ala
berfirman,
وَيُحَرِّمُ
عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Dan dia
mengharamkan bagi mereka segala yang khobits”
(QS Al A’raf: 157).
Makna khobits
dalam ayat ini ada tiga pendapat, yaitu:
- Khobits adalah makanan haram. Jadi
yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah dilarang menyantap makanan
haram.
- Khobits bermakna segala sesuatu yang
merasa jijik untuk memakannya, seperti ular dan hasyarot (berbagai hewan
kecil yang hidup di darat).
- Khobits bermakna bangkai, darah
dan daging babi yang dianggap halal. Artinya, Allah mengharamkan bentuk
penghalalan semacam ini padahal bangkai, darah dan daging babi sudah
jelas-jelas haram.
(Lihat
Zaadul Masiir, 3: 273)
Ulama
Malikiyah tidak menganggap standar jijik dan tidak dari orang Arab dari ahli
Hijaz. Mereka berdalil dengan tiga ayat yang menerangkan bahwa segala hewan
yang tidak dinash-kan (tidak disebutkan dalilnya) akan haramnya, dihukumi
halal. Tiga ayat yang dimaksud adalah,
هُوَ الَّذِي
خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS. Al Baqarah:
29)
قُلْ لَا
أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ
يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Katakanlah:
“Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua
itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al
An’am: 145)
وَقَدْ
فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
“Padahal
sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu”
(QS. Al An’am: 119). Dari tiga ayat ini terlihat bahwa makanan haram adalah
yang dikecualikan dari keumuman ayat pertama (Al Baqarah: 29). Selain yang
diharamkan berarti kembali kepada keumuman yang menyatakan halal atau bolehnya.
(Dinukil dari Al Mawsu’ah All Fiqhiyyah, 5: 147)
Dalam
menghukumi makanan yang haram, penulis lebih cenderung berpegang pada pendapat
ulama Malikiyah yang menilai bahwa yang khobits (jijik) adalah kembali
pada dalil. Jika dalil menyatakan haram, itulah yang dimaksudkan khobits.
Jika dalil menyatakan halal, itulah yang dimaksudkan dengan thoyyib.
وَيُحِلُّ
لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik (thoyyib) dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk (khobits)” (QS Al A’raf: 157).
Jika
demikian, jadilah sederhana dan simpel untuk memutuskan manakah makanan yang
haram ataukah tidak karena tinggal melihat pada dalil Al Qur’an dan As Sunnah
yang shahih. Jika kita menggunakan standar orang Arab atau lainnya, ini akan
sulit. Padahal tidak semua hewan ada dan hidup di tengah-tengah orang Arab. Ini
logika sederhana yang menguatkan pendapat ini.
Masalah
Cacing Sebagai Obat
Jika sudah
menyadari akan hal ini, maka untuk masalah cacing kita perlu meneliti jauh
tentang hal ini. Apakah ada dalil yang melarang untuk mengonsumsinya? Jika
tidak ada, maka kembali ke hukum asalnya halal. Karena sekali standar
menjijikkan bagi kita bukanlah standar orang, tetapi dikembalikan pada dalil. Wallahu
a’lam, sampai saat ini penulis belum menemukan dalil yang mengharamkan
cacing. Sehingga dari sini tidak masalah jika cacing digunakan sebagai obat,
sebagai pakan ternak, atau dibudidayakan.
Namun
taruhlah jika cacing ini dianggap haram karena menjijikkan, maka yang haram ini
dibolehkan dalam keadaan darurat, yang tidak ada lagi obat yang dapat
menyembuhkan penyakit selain zat haram tersebut. Tetapi juga harus berdasarkan
anjuran/nasihat dokter yang dapat dipercaya.
Allah Ta’ala
berfirman,
وَقَدْ
فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Padahal
sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” (QS. Al An’am:
119)
فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّـهَ
غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah:
173)
Wallahu a’lam bish showwab.
ConversionConversion EmoticonEmoticon